Obyek Wisata Air Terjun Bajuin

Desa Sungai Bakar Kec.Bajuin Kab.Tanah Laut (10 Km dari kota Pelaihari)

Obyek Wisata Pantai Takisung

Desa Takisung Kec.Takisung Kab.Tanah Laut (22 Km dari kota Pelaihari)

Obyek Wisata Pantai Batakan

Desa Batakan Kec.Panyipatan Kab.Tanah Laut (40 Km dari kota Pelaihari)

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 31 Juli 2010

Sinta And Jojo - Keong Racun

Mungkin Bertanya2..kenapa Video ini Sekarang Booming... :)

Inilah jawabannya Dari mereka yang ada di video tersebut...:

Dia mulai panik dan ketakutan dengan (mulai) hebohnya video "Keong Racun"

Hebohnya video "Keong Racun" dari Sinta and Jojo di situs jejarang sosial, ternyata mulai membuat Sinta tidak tenang. Melalui blog-nya, Sinta yang bernama lengkap Sinta Nurmansyah memberikan klarifikasi berkaitan dengan video "iseng" yang mereka upload di Youtube itu.

"sebenernya kita ga da maksud buat tenar atau ngartis gda niat sama sekali, apalagi kena famous syndrom . malah kita takut, malu, syok ada pemberitaan yang engga engga gara2 ini," ditulis Sinta di

http://sintanurmansyah.blogspot.com.

Dalam blog-nya itu, Sinta menjelaskan bahwa awalnya ia berniat untuk meng-upload video itu di Facebook, namun karena gagal terus akhirnya dicari jalan tengah, dengan meng-upload lebih dulu di Youtube, kemudian di-embed ke Facebook. Namun ternyata videonya malah bikin heboh Youtube. Sampai saat ini video "Keong Racun" dari Sinta and Jojo sudah ditonton hampir 70 ribu orang.

Lain Youtube, di Facebook sudah ada fans page dengan nama Sinta and Jojo Fans Club, dengan jumlah fans hampir 3 ribu orang. Sinta pun makin panik dan menjelaskan bahwa fans page itu bukan dia yang buat.

"Jadi kita minta jangan diperpanjang lagi yah pemberitaan tentang kita apalagi terlalu di blow up privasi kitanya ngerasa keganggu ga enak , lagian bukan artis ini cuma iseng-iseng cari hiburan pribadi aja," tulis Sinta.


Sabtu, 24 Juli 2010

PUASA TAPI TIDAK SHOLAT

Hukum Orang Yang Puasa Tapi Tidak Shalat

Tanya :

Apa hukum orang yang berpuasa tapi meninggalkan shalat? Apakah puasanya sah?

Jawab :

Yang benar, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kufur akbar. Puasa dan ibadah-ibadah lainnya tidak sah sampai ia bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Hal ini berdasarkan firman-Nya,

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

Dan berdasarkan ayat-ayat serta hadtis-hadits lain yang semakna. Sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu tidak menyebabkannya kafir dan puasa serta ibadah-ibadah lainnya tidak batal jika ia masih mengakui kewajiban-kewajiban tersebut, ia hanya termasuk orang-orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan.

Yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun mengakui kewa-jibannya. Hal ini berdasarkan banyak dalil, di antaranya adalah sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari hadits Jabir bin Abdullah Radhiallaahu anhu.

dan sabda beliau,

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barang-siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan keempat penyusun kitab sunan dengan isnad shahih dari hadits Buraidah bin Al-Hushain Al-Aslami Radhiallaahu anhu.)

Al-’Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullaah telah mengupas tuntas masalah ini dalam tulisan tersendiri yang berjudul “Shalat dan orang yang meninggalkannya”, risalah beliau ini sangat bermanfaat, sangat baik untuk merujuk dan mengambil manfaatnya.

HATI-HATI MEMBICARAKAN ORANG LAIN

HATI-HATI MEMBICARAKAN ORANG LAIN

Membicarakan aib orang lain atau ghibah telah Allah haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. al-Hujurat:12)

Penjelasan tentang hakikat ghibah telah disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yaitu,

“Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan).” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini. Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?” (HR Muslim).

Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri.
Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya.” (Silsilah ash-Shahihah no. 1871)

Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu wata’ala akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah ash-Shahihah no. 437)

Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ghanam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

“Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik.” (HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab “Hashaid al-Alsun” hal. 68)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/200)

Para salaf adalah orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut jika terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dia berkata, “Aku mendengar Abu ‘Ashim berkata, “Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak berani menggunjing orang sama sekali.” (at-Tarikh al-Kabir (4/336)

Al-Imam al-Bukhari mengatakan, “Aku berharap untuk bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala dan Dia tidak menghisab saya sebagai seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain.”

Imam Adz-Dzahabi berkomentar, “Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta’dil (menyatakan cacat dan jujurnya seorang perawi) maka akan tahu kehati-hatian beliau di dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di dalam mendhaifkan/melemahkan seseorang.

Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi) mengatakan, “Apabila aku (Imam al-Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau “Semoga Allah subhanahu wata’ala tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain.” Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap wara’. (Siyar A’lam an -Nubala’ 12/439)

Beliau juga mengatakan, “Aku tidak menggunjing seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya bagi pelakunya.” (Siyar a’lam an-Nubala’ 12/441)

Para salaf apabila terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab pernah berkata,

“Aku bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang maka aku akan berpuasa satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku menggunjing, maka aku pun berpuasa. Maka aku berniat apabila menggunjing seseorang, aku akan bersedekah dengan satu dirham dan karena sayang terhadap dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah.”

Berkata imam adz-Dzahabi, “Demikianlah kondisi para ulama, dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat.” (Siyar: 9/228)

Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi berkata, “Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak melakukan sesuatu.” (Siyar: 9/195)

Maka para aktivis dakwah di masa ini yang melakukan ghibah atau membicarakan aib saudaranya sesama muslim dengan alasan untuk meluruskan kesalahan dan demi kebaikan, alangkah baiknya sebelum membicarakan orang lain merenung kan beberapa masalah berikut:

Pertama; Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan merupakan nasihat untuk Allah subhanahu wata’ala, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin? Ataukah merupakan dorongan hawa nafsu baik tersembunyi atau terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad dan kebencian terhadap orang yang dia gunjing?

Memperjelas apa latar belakang yang mendorong untuk membicarakan orang lain sangatlah penting. Sebab berapa banyak orang yang terjerumus ke dalam ghibah dan menggunjing orang lain karena dorongan nafsu tercela sebagaimana tersebut di atas. Lalu dia menyangka bahwa yang mendorong dirinya untuk menggunjing adalah karena menyampaikan nasehat dan menginginkan kebaikan.

Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang sangat pelik, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, kecuali setelah merenung dan berpikir mendalam penuh rasa ikhlas dan murni karena Allah subhanahu wata’ala.

Ke dua; Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika membicarakan aib seseorang, apakah merupakan hal-hal yang di situ memang dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak?

Ke tiga; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan Allah subhanahu wata’ala pada hari Kiamat jika Dia bertanya, “Wahai hamba-Ku si Fulan, mengapa engkau membicarakan si Fulan dengan ini dan ini?”
Hendaknya selalu ingat bahwa Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,

“Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)

Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata, “Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang dari jurang jurang neraka yang para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila telah berhadapan dengannya”. (Thabaqat asy Syafi’iyyah al Kubra 2/18). Wallahu a’lam.

Sumber:
“Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi wal Hukmi ‘alal Akharin, hal 17-20, Hisyam bin Ismail ash-Shiini. Dari buletin an-Nur.

WARISAN NABI YANG TERLUPAKAN

Anda pernah sakit gigi? Kemana Anda pergi berobat? tentunya dokter gigi bukan? Kenapa Anda tidak pergi ke montir mobil atau tukang cukur tatkala Anda sakit gigi? … Ya’, tepat sekali, karena dokter gigilah yang mengetahui masalah Anda, bukan yang lainnya. Itulah pentingnya ilmu, dan ilmu itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.

Ilmu Yang diturunkan Allah Subhanahu wata’ala

Di antara nama-nama Allah Subhanahu wata’ala yang husna (baik, bagus) adalah al ‘Aliim, yang artinya Maha Mengetahui. Allah Subhanahu wata’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui, baik perkara-perkara yang lahir maupun yang batin, baik yang kecil, ataupun yang besar. Dan sifat ilmu Allah Subhanahu wata’ala merupakan ilmu yang sempurna, tidak didahului oleh sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat lupa. Sebagaimana firman-Nya,

“Pengetahuan (ilmu) tentang hal itu, ada pada Tuhanku, di dalam sebuah kitab Tuhanku yang tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (Thooha: 52) (Al Qowaa’idul Mutslaa, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin)

Allah Subhanahu wata’ala Ta’ala menurunkan dua macam ilmu kepada manusia. Yaitu, ilmu duniawi dan ilmu syar’i. Adapun ilmu duniawi, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah, yakni jika sudah ada orang yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban orang yang lainnya. Dan ilmu duniawi ini bisa sebagai sarana untuk tujuan kebaikan atau untuk kejahatan, sehingga hukumnya pun sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya.

Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu syar’i adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada Rosululloh Muhammad shollalahu aihi wa sallam yang berupa keterangan-keterangan dan petunjuk yang terkait dengan keselamatan dan kebaikan seorang hamba, yang mana pemilik ilmu inilah yang mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu wata’ala. (Kitabul ‘Ilmi, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Sebagaimana sabda Rosululloh shollAllah Subhanahu wata’alau’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dirinya dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka akan Allah Subhanahu wata’ala pahamkan dia tentang ilmu agama.” HR. Al Bukhori).

Firman Allah Subhanahu wata’ala, “…Allah Subhanahu wata’ala akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…”(Al Mujaadilah: 11).

Hukum mempelajarinya adalah wajib bagi setiap muslim, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Menuntut ilmu (syar’i) adalah kewajiban bagi setiap muslim (baik laki-laki ataupun wanita).” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Ath Thobroni).

Ilmu syar’i Warisan para Nabi

Dan ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan para Nabi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham (harta benda), akan tetapi hanyalah mereka mewariskan ilmu syar’i, maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia mengambil bagian (warisan) yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Ilmu ini merupakan ilmu yang terlupakan dari perhatian kaum muslimin. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akherat adalah lalai.”(Ar Ruum: 7).

yakni kebanyakan manusia tidaklah mempunyai ilmu kecuali tentang ilmu dunia, dan yang terkait dengannya. Mereka sangat pandai dengan hal tersebut, namun lalai dalam masalah-masalah agama mereka dan apa yang bisa memberikan manfaat bagi akherat mereka (Tafsirul Quranil Azhim, Al Imam Ibnu Katsir).

Perlu diketahui, bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala membenci setiap orang yang pandai dalam masalah-masalah dunia namun bodoh tentang perkara akherat, Rosululloh bersabda,

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala membenci setiap orang yang ‘alim (pandai) dalam perkara duniawi, namun jahil terhadap perkara akherat.” (Shahihul Jami’: 1875).

Menuntut Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) = Jihad

Tatkala disebut kata jihad, yang tergambar dalam pikiran adalah perang dengan berbagai kesulitannya. Perlu diketahui, bahwa syariat jihad bertujuan agar agama Islam ini tegak di muka bumi. Dan Islam tidaklah tegak tanpa adanya jihad. Namun, perlu digaris bawahi, bahwasanya jihad ada dua bentuk, yang pertama adalah jihad dengan ilmu dan burhan (keterangan), dan yang kedua adalah jihad dengan perang dan pedang. Jihad yang pertama lebih didahulukan dibandingkan yang kedua, sebagaimana Rosululloh tidak akan memerangi suatu kaum sebelum dakwah sampai kepada mereka (Kitabul ‘Ilmi, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Abu Darda, salah seorang sahabat Rosululloh, berkata, “Tidaklah seseorang pergi siang hari ke Masjid untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, melainkan akan ditulis untuknya pahala sebagaimana pahala mujahid. Ia tidak pulang melainkan dalam keadaan mendapatkan rampasan perang.”

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu (agama), ia berada di jalan Allah Subhanahu wata’ala hingga ia pulang” (HR. At Tirmidzi dan At Thobroni).

Begitu pula Muadz bin Jabal, sahabat Rosululloh, berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu (agama), karena mempelajarinya dengan ikhlash membuat orang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, mengkajinya adalah ibadah, dan mendiskusikannya adalah tasbih, dan pergi mencarinya adalah jihad” (Al ‘Ilmu, Al Imam Ibnul Qoyyim)

Ilmu Dulu, Baru Amal

Allah Subhanahu wata’ala Ta’ala berfirman, “…barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110).

Yakni siapa saja yang mengharap pahala dan balasan yang baik dari-Nya, hendaknya ia mengerjakan amal yang sholeh, yakni amal yang sesuai dengan tuntunan Rosululloh, dan tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah, yakni hanya mengharap pahala dan wajah Allah Subhanahu wata’ala semata dari amal ibadahnya. Di dalam ayat ini, terdapat dua rukun amal sebagai syarat diterimanya amal tersebut oleh Allah Subhanahu wata’ala, amal tersebut haruslah: (1) ikhlash ditujukan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan (2) sesuai dengan tuntunan dari Rosululloh (Tafsirul Quranil ‘Azhim, Al Imam Ibnu Katsir).

Maka dari itu, seseorang yang hendak mengerjakan amal ibadah, selain berusaha mengikhlashkan amal ibadahnya hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala, juga harus mengetahui (mengilmui) apakah amal ibadahnya tersebut diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala atau dituntunkan oleh Rosululloh. Karena tidaklah setiap amal perbuatan yang dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala mesti diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari ajaran kami, maka amal tersebut tertolak”(HR. Muslim).

Dengan begitu, ilmu lebih didahulukan daripada amal perbuatan.

Begitu pula dengan firman Allah Subhanahu wata’ala, “Ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wata’ala, dan mohonlah ampunan atas dosamu…” (Muhammad: 19).

Al Imam Al Bukhori menggunakan ayat ini sebagai dalil mengenai kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berbicara dan beramal. Ini merupakan dalil dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia mengetahui terlebih dahulu, kemudian baru beramal. Sebab suatu ucapan maupun amalan tidak bisa diterima kecuali bila dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah, padahal tidak mungkin seseorang mengetahui bahwa amalnya sesuai dengan ketentuan syariah kecuali dengan ilmu (Syaroh Tsalaatsatul Ushul, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin)

Bersikaplah Adil wahai Sahabat ……!!!

Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa setelah meninggal, manusia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatannya sewaktu hidup di dunia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

“Allah Subhanahu wata’ala tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang akan ditanya…” (Al Anbiya’: 21).

Kemudian manusia akan menempati tempatnya di akherat. Jika tempatnya di surga, di surgalah dia. Namun jika tempatnya di neraka, di nerakalah dia. Dan perlu diingat, bahwasanya kehidupan akherat itu kekal.

Firman Allah Subhanahu wata’ala,

“Dan kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.”(Al A’laa: 17).

Sebagaimana manusia tidak suka jika ada orang yang tidak adil kepadanya, maka hendaknya dia pun berbuat adil kepada Allah Subhanahu wata’ala. Jadi, seseorang tidaklah boleh hanya mementingkan kehidupan dunia tanpa memikirkan kehidupan akherat. Sehingga, kalau dia mampu meluangkan kesempatan belajar ilmu duniawi, tentunya dia pun harus bisa meluangkan kesempatan belajar ilmu syar’i.

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…”(Al Maidah: 8)

Bagaimana mungkin kita lebih sibuk mengurusi perkara dunia yang sementara sampai-sampai kita lalai terhadap akhirat yang itu kekal selama-lamanya. Bahkan dengan ilmu syar’i itulah seorang hamba bisa mencapai kebahagiaan dunia dan akhiratnya, dengan ilmu syar’ilah dia bisa mengetahui apakah suatu amalan diajarkan atau tidak oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rosul-Nya. Bukankah Nabi telah bersabda,

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari ajaran kami, maka amal tersebut tertolak.”(HR. Muslim).

YANG WAJIB DIPELAJARI OLEH SETIAP MUSLIM

YANG WAJIB DIPELAJARI OLEH SETIAP MUSLIM

Ketahuilah, di antara ciri-ciri yang menonjol dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu adalah mereka sangat mengagungkan dan memuliakan ilmu! Ya, kesibukan dan kepeduliannya terhadap ilmu sangatlah besar, khususnya ilmu tentang syari'at Allah dan Rasul-Nya (ilmu agama). Dan ini merupakan perkara yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebelum ia mengetahui dan mempelajari selain agama-Nya.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi rahimahullah menjelaskan dalam kitab beliau Al-Ushulu Ats-Tsalatsah, bahwa ilmu utama yang wajib diketahui dan dipelajari oleh setiap muslim itu hanyalah tiga perkara, yaitu Mengenal Allah (Ma'rifatullah), Mengenal Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam (Ma'rifatun Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam), Mengenal Agama Islam ini dengan berdasarkan dalil-dalil yang shohih, jelas, dan pasti (Ma'rifatud Diinil Islam bil adillati).

Yang dimaksud mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala itu adalah Anda mengenal-Nya dengan hati Anda, yang berkonsekuensi menerima apa saja yang disyari'atkan-Nya, patuh dan tunduk kepada-Nya dan menentukan segala keputusan dengan syari'at yang dibawa oleh Rasul-Nya shollallahu 'alaihi wa sallam
Seorang hamba itu mengenal Allah Azza wa Jalla dengan cara merenungkan ayat-ayat syar'iyyah yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, juga dengan cara merenungkan ayat-ayat kauniyyah (tanda-tanda kebesaran alam semesta ini), yakni melalui adanya segala jenis makhluk-Nya yang ada di alam semesta ini. Sebab setiap kali ia merenungkan ayat-ayat-Nya tersebut, maka akan bertambah-tambah pengenalannya terhadap Al-Kholiq (Sang Pencipta) dan Dzat yang disembahnya itu.

Tentang ini Allah Azza wa Jalla berfirman: "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. Adz-Dzariyat [51]: 20-21).

Kemudian yang dimaksud dengan mengenal Rasul-Nya Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam adalah mengenal beliau shollallahu 'alaihi wa sallam secara benar, yang berkonsekuensi menerima apa saja yang dibawa oleh beliau berupa petunjuk dan agama yang benar, mempercayai dan meyakini kebenaran apa saja yang diberitakan oleh beliau, mematuhi apa yang diperintahkannya, menjauhi apa yang dilarangnya, memutuskan perkara berdasarkan syari'atnya dan ridho dengan segala keputusannya.

Tentang hal ini Allah Azza wa Jalla berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Wahai Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang meka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan merka menerima (tunduk) dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa [4]: 65).

Ayat-ayat yang menerangkan tentang hal ini sangatlah banyak, silahkan Anda memperhatikannya (lihat juga dalam QS. An-Nisa [4]: 59, An-Nur [24]: 51 dan lain-lain).

Hingga akhirnya Allah Ta'ala berfirman:

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang sangat pedih." (QS. An-Nur [24]: 63).

Menjelaskan tentang ayat tersebut, Imam Ahmad bin Hambal menyatakan: "Tahukah kalian fitnah apa yang dimaksud dalam ayat ini? Fitnah yang dimaksud adalah kesyirikan! Mungkin jika ia menolak sebagian sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, maka akan terbersit dalam hatinya sesuatu (keinginan) untuk menyimpang, karena itulah ia akan binasa!"

Lalu yang terakhir, yang dimaksud dengan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalilnya adalah memahami agama Islam ini sebagai agama dengan dalil-dalilnya yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini mengandung konsekuensi bagi setiap muslim untuk tunduk kepada Allah dengan memurnikan ketauhidan, patuh kepada-Nya dengan cara melaksanakan berbagai bentuk amal ketaatan, dan juga membebaskan diri (berlepas diri) dari segala bentuk kesyirikan dan para pelakunya. Tiga unsur inilah yang terkandung dalam agama Islam ini.

Pembaca yang budiman, inilah tiga ilmu utama yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, karena hal ini menyangkut agama Islam secara keseluruhan. Bila seseorang itu buta dan tidak mengenal tiga perkara ini secara benar, niscaya ia akan celaka dan tersesat di dunia, sedangkan di akhirat ia pun akan menderita dan menyesal selama-lamanya. Wa na'udzubillahi min dzalik.

Wallahu a'lamu bish showwab.

(Maroji': Kitab Syarh Tsalatsatul Ushul, hal 19-21, Karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah).

BERPUASA DAN BERHARI RAYA BERSAMA PENGUASA

BERPUASA & BERHARI RAYA BERSAMA PENGUASA

Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu diantaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.

Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat diantara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”

Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).

Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”

Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:

1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.

3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini [1] dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443).

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani [2] berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398).

Beliau rahimahumullah juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu 'anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu 'anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu 'anhu.

Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)

Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas engkau dengan kebaikan.”

Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”

Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

        
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)

Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52).

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”

Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)

Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.

Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kalam-Nya nan suci:

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kalian.” (An-Nisa`: 59)

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)

Adapun baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Diantaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:

1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata:

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847).

3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:

Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta'ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)

Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)

Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)

Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan diantara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, diantaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:

1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai
dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di
masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang
dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala
ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas
umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam
berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang
demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa
(dan mayoritas umat Islam).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote :

1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:

“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”

2. Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.

(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc, judul asli Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi'ar Kebersamaan Umat Islam.)

Azab Seorang Pelacur

Jumat, 23 Juli 2010

Sarang Semut Obat 1000 Penyakit


Sarang Semut dengan nama imiah myrmecodia pendans merupakan tanaman yang didalamnya digunakan sebagai sarang semut. Didalamnya terdiri dari labirun yang digunakan semut sebagai liang untuk melakukan aktifitasnya. Meski sebagai tanaman yang tidak biasa namun khasiat pengobatan yang dimiliki sangat luar biasa.
Sarang semut diperkenalkan pertama kali di pedalaman Papua yang biasa digunakan sebagai obat oleh warga setempat selain buah merah. Tanaman ini diolah sebagai campuran bubur dan juga sebagi minuman dengan tujuan untuk meningkatkan imunitas tubuh. Selain itu banyak juga yang menggunakan sebagi obat untuk berbagai penyakit dalam.Khasiat herbal yang dimiliki ditandai dengan kandungan zat-zat aktif seperti antioksidan, polifenol, dan glikosida yang terkandung dalamnya. Ketiga zat ini sangat membantu tubuh manusia untuk mengontrol beragam penyakit maut. Salah satunya sebagai imuno stimulan untuk menambah kekebalan tubuh.
Secara teknis zat imuno stimulan akan membantu dan melindungi sel-sel tubuh agar dapat menjalankan pekerjaan dengan baik. Bila sel berfungsi baik maka penyakit gangguan sel bisa di cegah dan diobat. Penyakit ganguan sel yang paling sering diterima tubuh adalah kanker.
Kandungan zat yang dimiliki memang didukung oleh aktifitas semut di dalamnya dimana banyak zat yang menguntungkan tertinggal dalam bagian tanaman. Pada semut sendiri antioksidan berperan sebagai zat penting untuk proses pembentukan koloni. Selain itu juga sebagai benteng bagi tempat penyimpanan telur dari panyakit.
Bila di lihat kondisi ini hampir mirip dengan madu yang dikeluarkan lebah untuk melindungi telurnya. Pada semut khasiat yang muncul kemungkinan besar berasal dari kelenjar liur semut yang berinteraksi dengan tanaman dan beberapa mikroba lainnya.
Selain mencegah dan mengobati kanker sarang semut juga efektif membantu penyembuhan berbagai macam penyakit gangguan jantung, ambien (wasir), rematik, stroke, maag, gangguan fungsi ginjal dan prostat. Bahkan pegal linu, melancarkan ASI, migren, melancarkan pembuluh darah, lever, bahkan memulihkan gairah seksual juga bisa diambil dari khasiat tanaman ini.Ditambah lagi kandungan herbal yang dimiliki bisa menghambat enzim xantin oksidan yang bisa memicu asam urat dan radikal bebas. Bagi penderita diabetes tanaman ini juga menjadi satu alternatif yang wajib dicoba. Pasalnya kandungan zat yang dihasilkan semut akan menetralisir kadar gula dalam darah.
Secara logika ini dimungkinkan sebab gula menjadi satu makanan utama semut dan dipastikan kandungan antibodi yang dimiliki terhadap senyawa gula sangat lengkap. Jadi lawan gula secara almai dengan zat yang dimiliki oleh semut lewat sarangnya. Sebab meski memakan gula semut tidak terkena diabetes
Untuk mendapatkan khasit sarang semut caranya sangat mudah. Potong kecil-kecil tanaman sarang semut yang sudah cukup dewasa. Ukurannya dewasa cukup mudah, setidaknya lebih besar atau sama dengan botol air mineral ukuran 1,5 liter. Sebab semakin besar akan semakin banyak koloni semut didalamnya dan makin banyak juga zat menguntungkan yang dimiliki.
Setelah dipotong tipis dan kecil, jemur hingga kering atau bisa dimasukkan kedalam oven. Dari potongan kering ini direbus sekitar 15-20 menit untuk mengekstrak kandungan didalamnya. Setelah itu air rebusan bisa diminum langsung atau diberikan bahan tambahan untuk mengurangi rasa pahit.
Ekstrak sarang semut bisa diminum setiap hari baik sebagai obat maupun pencegahan.Selain dalam bentuk potongan rumah semut juga bisa di kemas dalam bentuk serbuk dengan cara menumbuk potongan yang sudah kering.Dosisnya untuk satu sendok makan direbus dengan dua gelas air (400cc) sampai didapatkan satu gelas air rebusan. Buang ampasnya dan minum hanya air rebusan saja.

Selasa, 20 Juli 2010

Abu Nawas dan Pukulan yang Menjadi Dinar

Pada suatu hari Abu Nawas menghadap ke Istana. Ia pun bercakap-cakap dengan Sultan dengan riang gembira. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran di benak Sultan. “Bukankah Ibu si Abu Nawas ini sudah meninggal? Aku ingin mencoba kepandaiannya sekali lagi, Aku ingin menyuruh dia membawa ibunya ke istanaku ini. Kalau berhasil akan aku beri hadiah seratus dinar.
“Hai, Abu Nawas,” titah Sultan, “Besok bawalah Ibumu ke istanaku, nanti aku beri engkau hadiah seratus dinar.”

Abu Nawas kaget. “Bukankah beliau sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal, tapi mengapa beliau memerintahkan itu,” pikirnya. Namun dasar Abu Nawas, ia menyanggupi perintah itu. “Baiklah, tuanku, esok pagi hamba akan bawa ibu hamba menghadap kemari,” jawabnya mantap. Setelah itu ia pun mohon diri.

Sesampai di rumah, setelah makan dan minum, ia pergi lagi. Dijelajahinya sudut-sudut negeri itu, menyusuri jalan, lorong dan kampung, untuk mencari seorang perempuan tua yang akan dijadikan sebagai ibu angkat. Rupanya tidak mudah menemukan sesosok perempuan tua. Setelah memeras tenaga mengayun langkah kesana kemari hingga jontor, barulah ia menemukan yang dicari. Perempuan itu adalah seorang pedagang kue apem di pinggir jalan yang sedang memasak kue-kue dagangannya. Dihampirinya perempuan tua itu.

“Hai, ibu, bersediakah engkau kujadikan ibu angkat?” kata Abu Nawas.

“Kenapa engkau berkata demikian?” tanya si Ibu tua itu. “Apa alasannya?”

Maka diceritakanlah perihal dirinya yang mendapat perintah dari Sultan agar membawa ibunya ke istana. Padahal ibunya sudah meninggal. Juga dijanjikan akan membagi dua hadiah dari Sultan yang akan diterimanya. “Uang itu dapat ibu simpan untuk bekal meninggal bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan,” kata Abu Nawas.

“Baiklah kata si Ibu tua itu, aku sanggup memenuhi permintaanmu itu.”

Setelah itu Abu Nawas menyerahkan sebuah tasbih dengan pesan agar terus menghitung biji tasbih itu meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab pertanyaan yang diajukan. Sebelum meninggalkan perempuan itu, Abu Nawas wanti-wanti agar rencana ini tidak sampai gagal. Untuk itu ia akan menggendong perempuan tua itu ke istana.

“Baiklah anakku, moga-moga Tuhan memberkatimu,” Kata si ibu tua.

“Dan terutama kepada Ibuku…”

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah sampai di istana lalu memberikan salam kepada Sultan.

“Waalaikumsalam, Abu Nawas,” jawab Sultan. Setelah itu Sultan memandang Abu Nawas. Bukan main terkejutnya Sultan melihat Abu Nawas menggendong seorang perempuan tua. “Siapa yang kamu gendong itu?” tanya Sultan. “Diakah ibumu?” tapi kenapa siang begini kamu baru sampai?”

“Benar, tuanku, inilah ibu Patik, beliau sudah tua dan kakinya lemah dan tidak mampu berjalan kemari, padahal rumahnya sangat jauh. Itu sebabnya patik gendong ibu kemari,” kata Abu Nawas sambil mendudukkan ibu tua di hadapan Sultan.

Setelah duduk ibu tua itu pun memegang tasbih dan segera menghitung biji tasbih tanpa henti meski Sultan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Tentu saja Sultan tersinggung, “Ibumu sangat tidak sopan, lagi pula apa yang dikatakannya itu sampai tidak mau berhenti?”

Sembah Abu Nawas, “Ya tuanku Syah Alam, suami ibu patik ini 99 banyaknya. Beliau sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan tidak akan berhenti sebelum selesai semuanya.”

Seratus Dinas

Demi mendengar ucapan Abu Nawas tadi perempuan tua itu pun melempar tasbih dan bersembah datang kepada Sultan. “Ya tuanku Syah Alam,” katanya, “Adapun patik ini dari muda sampai tua begini hanya seorang suami hamba. Apabila sekarang ini berada di hadapan tuanku, itu adalah atas permintaan Abu Nawas. Dia berpesan agar patik menghitung-hitung biji tasbih dan tidak menjawab pertanyaan tuanku. Nanti Abu Nawas akan membagi dua hadiah yang akan diterimanya dari tuanku.”

Begitu mendengar ucapan perempuan tua itu Sultan tertawa dan menyuruh memukul Abu Nawas seratus kali. Ketika perintah itu akan dilaksanakan, Abu Nawas minta izin untuk dipertemukan dengan Sultan. “Ya tuanku, hukuman apakah yang akan tuanku jatuhkan kepada hamba ini?”

“Karena engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu kemari, akupun berjanji akan memberi hadiah uang seratus dinar, tapi karena kamu tidak bisa memenuhi janjimu, dapatlah engkau seratus kali pukulanku,” kata Sultan.

“Ya tuanku, Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Patik berjanji dengan perempuan tua ini akan membagi dua hadiah yang akan tuanku berikan kepada hamba, tetapi karena sekarang hamba mendapat dera, hadiah itu juga harus dibagi dua, karena yang bersalah dua orang, patik terimalah hukuman itu, tetapi lima puluh seorang dengan perempuan tua ini.”

Dalam hati Sultan bergumam, “Jangankan dipukul lima puluh kali, dipukul sekali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri.” Setelah itu Sultan memberi lima puluh dinar kepada perempuan tua itu sambil berpesan agar tidak cepat percaya kepada Abu Nawas bila lain kali menemuinya. Dengan suka cita diterimanya hadiah itu dan dipandangnya Abu Nawas.

“Ya tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat anugerah dari paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu saja.”

“Hmm…ya, terimalah pula bagianmu,” ujar baginda sambil tersenyum, “Ini…”

Semua orang tertawa dalam hati. Setelah Abu Nawas bermohon diri pulang ke rumah. Demikian pula perempuan tua itu dan semua yang hadir di Balairung, dengan perasaan masing-masing.

Cara Abu Nawas Merayu Tuhan

Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.

“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.

“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.

***

Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.

Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.

“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.

“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.

“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).

Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Kedua – Habis)

“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.

“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”

“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”

Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.

“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.

Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.

“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.

“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis.

“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.”

“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.

“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.

“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.

“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.”

“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.

“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.”

Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya.

Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.

Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim

Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.

Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.

“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”

Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.

Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.

“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.

“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”

Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk.

“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?

“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”

“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.

“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.”

Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.

Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.

Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.

Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.

“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”

Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.

“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”

“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”

“Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”

Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”.

Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.

Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah.

Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat.

Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka.

“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.

“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.

“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”

“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”

“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.

“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”

Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah.

Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.

Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”

KISAH API

Pada   zaman   dahulu  ada  seorang  yang  merenungkan  cara
bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan-
percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari
satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak
tentang penemuannya.

Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai
kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang
memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira
bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu
cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi
mereka. Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya
memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan
sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin
bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang
api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang
tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat
kedinginan.

Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat
untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang
menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.
Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan
dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang
kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa
menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan
mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi
mereka.

Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan
beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui
negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu
tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan
bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya,
"Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitan dengan
pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka
itu!"

Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi
perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang
masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan
bagaimana mendekatinya."

Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu
diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka
menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika
upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang
mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin
mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus
menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri,
silahkan saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan
pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku
bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai
perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu,
maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun
lamanya kalian telah tersesat?"

Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang
itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di
negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api.
Ada lagi seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba
menyehatkan akal bangsa itu.

Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk
berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal.
Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan
hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda
kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara
ini."

Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal.
Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara
diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara
kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah
dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha
membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak
mau mendengarkan Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka
menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur,
orang pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata
kepada pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan,
yang bisa dipergunakan."

"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa
menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."

"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi
mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut
ketiga itu.

"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan
tak bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan
pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata
pendeta-pendeta itu. Dan pengikut darwis itupun bisa
melanjutkan usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri
bangsa keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan
kerumunan orang.

"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana
melaksanakannya," katanya.

Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi
beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin
benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui
bagaimana cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji
oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar
ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan
tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan
kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu
merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka
yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan
orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api
bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak
benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia
mendapat kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu
tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa
kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian
ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya
dengan bangsa kita ini?"

Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.

Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa
yang kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari,
dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,

"Kalian harus belajar cara mengajar, sebab manusia tidak
ingin diajar. Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka
bahwa masih ada saja hal yang harus dipelajari. Mereka
membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin
mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari,
bukan apa yang pertama-tama harus mereka pelajari. Kalau
kalian telah mempelajari ini semua, kalian baru bisa
mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa
untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan dan
kemampuan."

Catatan

Untuk menjawab pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad
al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,

"Seorang barbar adalah manusia yang daya pahamnya begitu
tumpul sehingga ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan
atau merasakan sesuatu yang hanya dipahami lewat
pengembangan dan penerapan terus-menerus terhadap usaha
mencapai Tuhan.

Manusia menertawakan Musa dan Yesus, atau karena mereka
sangat tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri
mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka
berbicara dan bertindak."

Menurut cerita darwis, ia dituduh menyebarkan Kristen dan
orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen karena
menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah.

Ia pendiri kaum Badawi Mesir.