Sebenarnya, seringkali kita bingung sendiri bahwa kita ini kok sangat mudah sekali berbohong dalam kehidupan kita. Akan tetapi sayangnya kebingungan kita itu masih pada taraf pertanyaan bingung-bingungan pula. Ya…, bingung bohongan juga sebenarnya. Selama ini yang kita namakan kebohongan itu masih terbatas hanya pada perbuatan dan perkataan kita yang berhubungan dengan masalah-masalah muamalah (hubungan kemanusiaan) sehari-hari saja. Misalnya, kita dengan sangat mudah berbohong-bohongan dengan teman, dengan keluarga, dengan istri/suami, dengan anak, dengan orang tua, dengan bawahan, dengan atasan, dengan rakyat, dengan pemimpin, dan sebagainya. Bahkan kita dengan sama mudahnya mampu pula untuk membohongi diri kita sendiri, sehingga kadangkala kita bengong saja dibuatnya. “Kok bisa ya tadi saya membohongi diri saya…”, gumam kita setengah nggak percaya.
Akan tetapi…, kita sangat jarang sekali bisa menyadari bahwa kita ini juga sebenarnya telah terlalu sering berbohong kepada Allah saat kita melakukan ibadah atau sebuah syariat agama. Tatkala kita tidak mampu menjadi saksi (syahid) dan sadar (dzikir) atas ungkapan-ungkapan kita, atas gerakan-gerakan (penghormatan, penyembahan, pemujaan) kita kepada Allah selama kita melakukan ibadah tersebut, maka sebenarnya saat itu kita tengah berbohong. Nggak bisa tidak.
Gimana kita nggak berbohong namanya, misalnya dalam shalat, coba...
Seyogyanya saat takbiratul ihram, sebelum membaca Allahu Akbar, kita seharusnya terlebih dahulu benar-benar bersaksi dan sadar bahwa Allah ternyata memang Maha Besar. Makanya kita sampaikan kesaksian kita itu dengan sadar kepada Allah : "Allahu Akbar…, ooo yaa..., ternyata Engkau memang Maha Besar, Ya Allah". Kan begitu yang namanya kita bersaksi itu...?. Dan Allah pastilah membalas, merespon, dan menjawab kesaksian kita saat itu juga. Karena Allah memang sudah menjaminnya: “Ujiibu da’watad daa’a idza da’aanii…, Aku akan menjawab, merespon, panggilan-pangilan, ungkapan-ungkapan, do’a-doa hamba-Ku apabila dia memanggil-manggil-Ku, memuja-muja-Ku, berdo’a kepada-Ku…”, (Al Baqarah 186).
Akan tetapi…, kalau kita nggak menyaksikan kebesaran Allah, padahal saat itu kita tengah mengatakan Allahu Akbar, itu kan namanya kita saat itu sedang NGELINDUR atau paling tidak tengah BERBOHONG ketika membaca takbiratul ihram itu. Dan…, akibat dari tidak mampunya kita menyaksikan kebesaran Allah saat itu, maka yang seketika itu juga kita akan menyaksikan yang selain Wajah-Nya. Otomatis saja sebenarnya. Begitu selesai mengucapkan Allahu Akbar…, maka seketika itu juga BUBAR semuanya. Kita seperti ditarik-tarik dan didorong-dorong kesana kemari oleh berbagai file fikiran yang ada di dalam memori otak kita. Makanya kita cenderung untuk ingin buru-buru untuk menyelesaikan shalat kita. Capek mengembara kesana kemari soalnya.
Untuk membuktikan bahwa apakah kita ini sedang ngelindur dan berbohong atau tidak saat kita mengucapkan sesuatu pujaan penghormatan kepada Allah itu gampang saja sebenarnya. Mari kita bedah masalah ini sedikit dengan mengambil analogi yang sangat dekat dengan kehidupan kita sendiri, yaitu saat kita berbicara tentang cinta misalnya.
Ketika kita mencintai seseorang, maka untuk mengungkapkan cinta kita kepada orang yang kita cintai itu, apakah itu cukup kita lakukan dengan cara mengucapkan kalimat “I Love You” saja, ataukah seharusnya kita lakukan dengan cara memberikan cinta itu sendiri kepadanya dan lalu ungkapan I Love You itu kemudian mengalir ringan dari mulut kita…?. Bahkan tanpa ungkapan I Love You itu sendiripun, kita dan sang kekasih yang kita cintai itupun dapat pula saling merasakan bahwa SIKAP dan KESADARAN kita memang bersesuaian dengan realitas cinta itu sendiri, walau tanpa kata-kata. Dan yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana RESPON, JAWABAN, dari orang yang kita cintai itu atas ungkapan dan pemberian rasa cinta kita kepadanya. Respon cinta pasti pulalah cinta. Kalau ungkapan cinta kita itu tidak berbalas, atau malah dibalas dengan benci, maka saat itu pula cinta kita disebut sebagai cinta bertepuk sebelah tangan. Nggak enak…!.
Hal ini akan sangat berbeda ketika kita bertemu dengan seseorang atau banyak orang dijalanan, lalu kita mengucapkan “I Love You…, I Love You…, Saya cinta kamu…” kepada mereka. Padahal saat itu rasa cinta kepada orang tersebut tidak ada di dalam dada kita. Maka suasananya persis sama dengan ungkapan seekor burung BEO yang pintar berbicara. Misalnya, “selamat pagi bang…, selamat pagi bang…, selamat pagi bang…”, kata sang burung BEO nyerocos terus walau saat itu hari sedang tengah hari bolong, bahkan pada tengah malam sekalipun. Begitu juga sapaan dia dengan ucapan ‘bang” itu dia tujukan kepada siapapun juga, kepada perempuan, anak-anak, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan binatang sekalipun dia sapa dengan ungkapan “bang” itu.
Ya…, si burung BEO mengucapkan selamat pagi kepada abangnya itu tanpa dia berada dalam kesadaran dan kesaksian tentang suasana pagi hari itu dan abangnya itu sendiri. Inikan ngelindur dan berbohong namanya.
Nah…, saat mulai shalat ketika mengucapkan “Allahu Akbar” saja kita sudah berbohong. Seperti burung BEO itulah. Belum lagi setelah itu. Misalnya, saat saya baca "Inni wajjahtu wajhia..., hanief…", kuhadapkan "wajahku kepada Wajah Dia..., lurus… dst", eee..., kita malah menghadap ke sajadah, kita malah menghadap ke arti bacaan shalat, atau malah kita sedang menghadap ke masalah-masalah lain yang muncul silih berganti dihadapan kita. Lha…, bohong dan ngelindur lagi kita kepada-Nya...!.
Belum lagi saat kita mengucapkan do’a: "iyyaKA... na' budu wa iyyaKA nasta'in…". Saat membacanya kan seharusnya kita langsung tunduk dan tawadhu’ TEPAT ke Wajah-Nya. Bukan kemana-mana lagi. Makanya dalam kalimat itu ada KA…, Engkau…, Mu…!. Ada “barangnya” gitu lho. Artinya sebelum kita mengucapkan do’a itu sudah sepantasnya kita bersaksi dan sadar dulu: “Ooo … ya, ke INI saya harus menyembah, dan ke INI pula saya harus minta pertolongan”.
Lha…, kalau tentang Allah sendiri kita belum tahu, maka saat kita mengucapkan KA… ini, kita harus mengarahkan kesadaran dan kesaksian kita kemana…?. Makanya KA… kita selama ini, saat kita menyembah dan minta dituntun itu kadang-kadang adalah pekerjaan kita, adalah masalah-masalah kita yang sedang in, adalah atribut-atribut kemanusian lainnya, seperti patung, gambar, jabatan, harta benda, dan lain sebagainya. Pikiran kita liar, lari kemana-mana, selama shalat itu kita lakukan. Maka jadilah kita ini bohong lagi kepada Allah...!.
Begitu juga…, saat kita mengucapkan "subhanallah, subhanarabiyal a’la, subhanarabbiyal adhim, dsb". Kita ini kan seharusnya benar-benar telah dan sedang MENYAKSIKAN KEMAHASUCIAN ALLAH, KETINGGIAN ALLAH dulu, lalu barulah setelah itu kita teguhkan kesaksian kita itu dengan ungkapan tasbih diatas dan dengan sikap PENYEMBAHAN pula (rukuk dan sujud). Lha wong kita saat itu belum menyaksikan kemahasucian Allah dan ketinggian Allah, lalu tiba-tiba saja kita bertasbih...!. Lalu menyembah dan memuja siapa kita saat itu…?. Lhaaaa..., kan berbohong dan ngelindur seperti burung BEO lagi kita saat itu namanya. Ya nggak, ya nggak…?. Makanya Allah menegor perilaku kita itu dalam ayat berikut:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah… (Al Baqarah 165)
Selanjutnya, saat kita menghantarkan do’a: “Rabbana laKAl hamdu…, Wahai Tuhanku…, milik-MU mu segala pujaan ini…”. Dan do’a-do’a: “Rabbigfirli, warhamni, wajburni, warfa’ni, wardzuqni, wahdini, wa’afini, wa’fuanni…, serta do’a-do’a yang lainnya, kita arahkan dan sampaikan kemana MUATAN do’a itu selama ini…?. Kita sampaikan nggak do’a itu kepada yang kita anggap MU itu. Dan MU itu membalasnya nggak muatan do’a kita itu dengan muatan yang lebih dahsyat.
Misalnya, saat kita menyerahkan segala pujaan kepada “MU” itu, maka setelah itu PLONG nggak dada kita ini dari rasa sesak akibat pengaruh rasa sombong untuk ingin dipuja dan puji orang lain. Lalu adakah pula muncul rasa diampuni, rasa dikasihi, rasa ditutupi ke’aiban, rasa rasa diangkat kedudukan, rasa dilimpahi ide-ide untuk mengais rizki, rasa dilimpahi informasi atau pentunjuk, rasa disehatkan, rasa dimaafkan oleh Allah setelah kita mengaturkan do’a kepada “MU” itu…?. Kalau “MU” ini belum pas, maka muatan balasan dari “MU” itu juga nggak akan ada. Kita bertepuk sebelah tangan lagi jadinya.
Yang paling dahsyat adalah saat kita harus mengungkapkan kesaksian kita atas Allah dan Muhammad SAW. "Asyhadualla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Kan seharusnya kita benar-benar menyaksikan Allah dulu baru kita ungkapkan kesaksian kita itu. Begitu juga saat kita harus bersaksi terhadap Rasulullah, bersaksi macam apa yang harus kita lakukan...?. Apakah kita harus membayangkan wajah Rasulullah, penderitaan Rasulullah, atau bagaimana…?. Salah-salah kita bisa sama saja dengan orang yang memuja wajah “XYZ” dalam beribadahnya.
Kalau di sebuah sidang pengadilan, yang namanya bersaksi itu, ya kita haruslah mengetahui persis tentang apa-apa yang akan kita ungkapkan dalam persaksian itu. Lha…, dalam bersyahadah itu, yang seharusnya saat kita bersyahadat itu kesadaran kita langsung tertuju kepada Allah: Ya Allah benar ya Allah hanya Engkau alamat saya menyembah, dan benar ya Allah… Muhammmad SAW adalah Rasulmu, karena apa-apa yang Beliau sampaikan saya buktikan kebenarannya…!, eeee... kesadaran kita yang muncul saat kita bersyahadat itu malah pikiran liar kesana kemari. Bohong dan ngelindur lagi kita dalam bersyahadat itu...!
Dalam mengucapkan salam pun begitu. "Assalamu alaikum, warahmatullahi wabarakatuh...!", itu artinya kan adalah bahwa saat salam itu kita ungkapkan, seharusnya kita menebarkan kepada orang-orang di sekeliling kita tentang keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah yang telah kita dapatkan saat kita shalat itu. Lha apanya yang akan ditebarkan wong salam kita itu kebanyakan juga KOSONG SAJA, nggak ada MUATANNYA.
Kan salam itu seharusnya begini: "nih pak, nih dik, nih nak, nih sahabatku ada keselamatan nih, ada rahmat nih, ada barakah nih dari Allah buat mu ('alaikum, 'alaikum, alaikum, buat semua). Ada muatannya gitu lho...!. Kalau nggak ya kita berbohong dan ngelindur lagi itu namanya saat kita mengucapkan salam itu.
Bayangkan…, untuk sebuah perbuatan SHALAT yang kita lakukan dari hari ke hari, waktu ke waktu, isinya nyaris bohong dan ngelindur melulu. Dari sikap ke sikap, bacaan ke bacaan kita nggak ubahnya dengan seekor burung BEO. Lha…, gimana kita bisa menjadi baik saat kita menjalani hidup ini....?.
Jangankan suasana yang susah dalam shalat seperti diatas, untuk hal yang sederhana saja kita belum tentu lebih baik dari seekor burung BEO. Untuk membuktikannya gampang saja kok. Cobalah bandingkan bagaimana suasana yang melanda dada dan kulit kita saat kita menyebut kata-kata berikut ini. Membacanya boleh saja ditempat yang sepi dan sendirian, atau dimanapun yang kita sukai:
“Piring, gelas, piring, gelas, sendok…!”.
Kemudian sebut pulalah:
“Allah…, Allah…, Allah…!.
Kalau tidak ada bedanya sedikitpun suasana DADA dan KULIT kita saat membaca kata-kata diatas, maka bolehlah kita mulai meratapi diri. Karena boleh jadi saat kita membaca itu mungkin nggak ada bedanya dengan membacanya seekor burung BEO.
Lalu kemudian sebut pulalah:
“Jin, iblis, syetan, gendoruwo, roh gentayangan”
Dan makhluk-makhluk sejenis lainnya….
Kalau saat menyebut nama-nama makhluk jin yang digambarkan (dipersepsikan) orang dengan sangat menakutkan itu, dada kita lalu gemetar, kulit kita lalu merinding, ada rasa takut yan menegakkan bulu roma kita…, bahkan ada pula yang sampai keter-keter dan meracau nggak beraturan (yang katanya tengah kesurupan), dan lain-lain sebagainya, maka berarti saat itu bolehlah kita meratapi diri pula. Karena berarti nama jin, syetan dan sebagainya itu lebih menimbulkan kesan mendalam di dada dan di kulit kita dari pada kita nama Allah…!. Astagfirullah hal adhiem…!. Pantas saja kita ini lebih cenderung untuk berbuat berbohong dari pada berbuat jujur. Karena memang kita lebih terkesan dan terpesona dengan jin, syetan dan iblis yang memang dari sononya sukanya berbohong melulu.
Akibatnya pada diri kita…???. Sungguh sangat menakjubkan…!. BOHONG BERBUAH BOHONG.
Buah Itu
Begitu terbiasanya kita berbohong dihadapan Allah saat kita shalat, maka kebiasaan itupun, tanpa kita sadari, lalu terbawa-bawa pula kedalam kehidupan sehari-hari kita. Cobalah kita amati diri kita dan sekeliling kita agak selirik dua lirik. Nggak usah jauh-jauhlah, ditempat bekerja kita misalnya. Betapa sering dan bersemangatnya kita selama ini membuat rencana-rencana yang konon kabarnya adalah untuk kemajuan perusahaan tempat kita bekerja, dan tentu saja untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama pula. Akan tetapi sayangnya lebih banyak pula rencana-rencana itu adalah rencana bohong-bohongan belaka.
Mari kita lihat bagaimana proses kita merencana itu selama ini melalui rapat-rapat yang intensitasnya cukup tinggi:
* Sebelum menghadiri rapat, kita sudah mulai memuat pulau-pulau mulai dari yang kecil sampai ke yang besar kedalam fikiran kita masing-masing. “Itu kan kerjaan si anu…. Itu kan bukan tanggungjawab saya…. Yang ini barulah bagian saya. Orang lain nggak boleh mengutak-utik bagian saya ini. Yang lain boleh jelek asal yang bagian saya bisa baik”.
* Giliran untuk melaksanakannya barulah kelihatan lagi ngelesnya: “kita terlebih dulu harus membuat detail rencana ini dengan sangat terperinci dengan melibatkan berbagai pihak lain yang berkompeten, dan berbagai alasan lainnya”.
* Akhirnya karena otak kita masing-masing masih berpulau-pulau seperti diatas, ditambah lagi saking rinci dan hebatnya detail rencana yang kita buat, malah jadinya rencana itu nggak bisa dilaksanakan sama sekali. Para pimpinan…, otaknya dibatasi oleh pulau-pulau yang berada diotaknya masing-masing. Dikiranya kotak atau posisinya sebagai pimpinan itu adalah miliknya sendiri. Begitu pula para pasukan dibawah pun lebih banyak berada pada pulau-pulau pikirannya sendiri dalam pekerjaannya sehari-hari. Padahal Indonesia ini walau dikatakan sebagai sebuah negara dengan seribu pulau, namun pulau-pulau itu tetap masih bisa disatukan dengan sebuah nama, INDONESIA.
* Padahal kalau kita berfikir secara sederhana, tidak ada yang tidak bisa dilaksanakan. Karena masalah-masalah kita ini hanyalah masalah yang berulang dari dulu-dulu walau dengan kualitas yang berbeda. Syaratnya hanyalah satu, yaitu temukanlah “sesuatu” yang bisa menyatukan pulau-pulau yang ada disetiap fikiran kita. Dan sesuatu itulah yang kita binding, kita anchoring, kita sandari saat kita menjalankan fungsi kita masing-masing.
Begitu juga di tingkat kota, propinsi, dan bahkan negara, nyaris saja rencana-rencana yang kita buat adalah rencana-rencanaan, rencana bohongan, rapat bohongan, pemeriksaan bohongan, tindakan bohongan, pelaksanaan bohongan.
Subhanallah…, ternyata bohongnya kita dihadapan Allah tadi, ee... ndak tahunya Allah malah benar-benar balik mendorong kita untuk berbuat bohong-bohong berikutnya. Ya seperti kita sekarang inilah. Bangsa kita ini saat ini nampaknya memang tengah dilanda oleh gelombang kebohongan massal.
Masih Ada Harapan…!
Untuk keluar dari lingkaran kebohongan demi kebohongan diatas, masih adakah jalan yang terbentang dihadapan kita…?. Jawabannya…, ADA…!. Dan caranya itupun adalah dengan cara yang sangat sederhana, yaitu jangan BOHONG dihadapan ALLAH. Artinya:
* Janganlah mengaku bahwa Allah Maha Besar (Allahu Akbar), kalau kita belum menyaksikan kemahabesaran Allah.
* Janganlah menyatakan IyyaKA, kalau kita belum sadar penuh kepada MU yang kita tuju.
* Janganlah memuji bahwa Allah Maha Suci (subhanallah), kalau belum menyaksikan kemahasucian Allah.
* Janganlah kita bersyahadat akan Allah, kalau kita belum bersaksi akan ketunggalan Allah, keesaan Allah, dan yang selain Allah adalah fana, tiada. Dan janganlah kita bersyahadat akan kerasulan Muhammad, kalau kita belum menikmati kebenaran ajaran-ajaran Beliau.
* Janganlah kita mengucapkan salam kepada orang lain, kalau muatan salam, kebahagian, kesejahteraan itu belum ada pada diri kita.
Nah…, harapan untuk menjadi TIDAK BOHONG lagi itu sangat terbuka lebar ketika kita bisa menjadi PENYAKSI (SYAHID) akan: kemahabesaran Allah, kemahasucian Allah, kemahaesaan Allah, dan kita menyaksikan pula respon Allah atas apa-apa yang kita keluhkan kepada-Nya. Inikan IHSAN saja sebenarnya.
Karena nggak mungkinlah orang yang IHSAN, yang menyaksikan dan yang sadar akan ALLAH mau untuk berbohong, berbohong, dan berbohong lagi …!.
Nah temukanlah posisi IHSAN tersebut…!.
Akan tetapi…, kita sangat jarang sekali bisa menyadari bahwa kita ini juga sebenarnya telah terlalu sering berbohong kepada Allah saat kita melakukan ibadah atau sebuah syariat agama. Tatkala kita tidak mampu menjadi saksi (syahid) dan sadar (dzikir) atas ungkapan-ungkapan kita, atas gerakan-gerakan (penghormatan, penyembahan, pemujaan) kita kepada Allah selama kita melakukan ibadah tersebut, maka sebenarnya saat itu kita tengah berbohong. Nggak bisa tidak.
Gimana kita nggak berbohong namanya, misalnya dalam shalat, coba...
Seyogyanya saat takbiratul ihram, sebelum membaca Allahu Akbar, kita seharusnya terlebih dahulu benar-benar bersaksi dan sadar bahwa Allah ternyata memang Maha Besar. Makanya kita sampaikan kesaksian kita itu dengan sadar kepada Allah : "Allahu Akbar…, ooo yaa..., ternyata Engkau memang Maha Besar, Ya Allah". Kan begitu yang namanya kita bersaksi itu...?. Dan Allah pastilah membalas, merespon, dan menjawab kesaksian kita saat itu juga. Karena Allah memang sudah menjaminnya: “Ujiibu da’watad daa’a idza da’aanii…, Aku akan menjawab, merespon, panggilan-pangilan, ungkapan-ungkapan, do’a-doa hamba-Ku apabila dia memanggil-manggil-Ku, memuja-muja-Ku, berdo’a kepada-Ku…”, (Al Baqarah 186).
Akan tetapi…, kalau kita nggak menyaksikan kebesaran Allah, padahal saat itu kita tengah mengatakan Allahu Akbar, itu kan namanya kita saat itu sedang NGELINDUR atau paling tidak tengah BERBOHONG ketika membaca takbiratul ihram itu. Dan…, akibat dari tidak mampunya kita menyaksikan kebesaran Allah saat itu, maka yang seketika itu juga kita akan menyaksikan yang selain Wajah-Nya. Otomatis saja sebenarnya. Begitu selesai mengucapkan Allahu Akbar…, maka seketika itu juga BUBAR semuanya. Kita seperti ditarik-tarik dan didorong-dorong kesana kemari oleh berbagai file fikiran yang ada di dalam memori otak kita. Makanya kita cenderung untuk ingin buru-buru untuk menyelesaikan shalat kita. Capek mengembara kesana kemari soalnya.
Untuk membuktikan bahwa apakah kita ini sedang ngelindur dan berbohong atau tidak saat kita mengucapkan sesuatu pujaan penghormatan kepada Allah itu gampang saja sebenarnya. Mari kita bedah masalah ini sedikit dengan mengambil analogi yang sangat dekat dengan kehidupan kita sendiri, yaitu saat kita berbicara tentang cinta misalnya.
Ketika kita mencintai seseorang, maka untuk mengungkapkan cinta kita kepada orang yang kita cintai itu, apakah itu cukup kita lakukan dengan cara mengucapkan kalimat “I Love You” saja, ataukah seharusnya kita lakukan dengan cara memberikan cinta itu sendiri kepadanya dan lalu ungkapan I Love You itu kemudian mengalir ringan dari mulut kita…?. Bahkan tanpa ungkapan I Love You itu sendiripun, kita dan sang kekasih yang kita cintai itupun dapat pula saling merasakan bahwa SIKAP dan KESADARAN kita memang bersesuaian dengan realitas cinta itu sendiri, walau tanpa kata-kata. Dan yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana RESPON, JAWABAN, dari orang yang kita cintai itu atas ungkapan dan pemberian rasa cinta kita kepadanya. Respon cinta pasti pulalah cinta. Kalau ungkapan cinta kita itu tidak berbalas, atau malah dibalas dengan benci, maka saat itu pula cinta kita disebut sebagai cinta bertepuk sebelah tangan. Nggak enak…!.
Hal ini akan sangat berbeda ketika kita bertemu dengan seseorang atau banyak orang dijalanan, lalu kita mengucapkan “I Love You…, I Love You…, Saya cinta kamu…” kepada mereka. Padahal saat itu rasa cinta kepada orang tersebut tidak ada di dalam dada kita. Maka suasananya persis sama dengan ungkapan seekor burung BEO yang pintar berbicara. Misalnya, “selamat pagi bang…, selamat pagi bang…, selamat pagi bang…”, kata sang burung BEO nyerocos terus walau saat itu hari sedang tengah hari bolong, bahkan pada tengah malam sekalipun. Begitu juga sapaan dia dengan ucapan ‘bang” itu dia tujukan kepada siapapun juga, kepada perempuan, anak-anak, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan binatang sekalipun dia sapa dengan ungkapan “bang” itu.
Ya…, si burung BEO mengucapkan selamat pagi kepada abangnya itu tanpa dia berada dalam kesadaran dan kesaksian tentang suasana pagi hari itu dan abangnya itu sendiri. Inikan ngelindur dan berbohong namanya.
Nah…, saat mulai shalat ketika mengucapkan “Allahu Akbar” saja kita sudah berbohong. Seperti burung BEO itulah. Belum lagi setelah itu. Misalnya, saat saya baca "Inni wajjahtu wajhia..., hanief…", kuhadapkan "wajahku kepada Wajah Dia..., lurus… dst", eee..., kita malah menghadap ke sajadah, kita malah menghadap ke arti bacaan shalat, atau malah kita sedang menghadap ke masalah-masalah lain yang muncul silih berganti dihadapan kita. Lha…, bohong dan ngelindur lagi kita kepada-Nya...!.
Belum lagi saat kita mengucapkan do’a: "iyyaKA... na' budu wa iyyaKA nasta'in…". Saat membacanya kan seharusnya kita langsung tunduk dan tawadhu’ TEPAT ke Wajah-Nya. Bukan kemana-mana lagi. Makanya dalam kalimat itu ada KA…, Engkau…, Mu…!. Ada “barangnya” gitu lho. Artinya sebelum kita mengucapkan do’a itu sudah sepantasnya kita bersaksi dan sadar dulu: “Ooo … ya, ke INI saya harus menyembah, dan ke INI pula saya harus minta pertolongan”.
Lha…, kalau tentang Allah sendiri kita belum tahu, maka saat kita mengucapkan KA… ini, kita harus mengarahkan kesadaran dan kesaksian kita kemana…?. Makanya KA… kita selama ini, saat kita menyembah dan minta dituntun itu kadang-kadang adalah pekerjaan kita, adalah masalah-masalah kita yang sedang in, adalah atribut-atribut kemanusian lainnya, seperti patung, gambar, jabatan, harta benda, dan lain sebagainya. Pikiran kita liar, lari kemana-mana, selama shalat itu kita lakukan. Maka jadilah kita ini bohong lagi kepada Allah...!.
Begitu juga…, saat kita mengucapkan "subhanallah, subhanarabiyal a’la, subhanarabbiyal adhim, dsb". Kita ini kan seharusnya benar-benar telah dan sedang MENYAKSIKAN KEMAHASUCIAN ALLAH, KETINGGIAN ALLAH dulu, lalu barulah setelah itu kita teguhkan kesaksian kita itu dengan ungkapan tasbih diatas dan dengan sikap PENYEMBAHAN pula (rukuk dan sujud). Lha wong kita saat itu belum menyaksikan kemahasucian Allah dan ketinggian Allah, lalu tiba-tiba saja kita bertasbih...!. Lalu menyembah dan memuja siapa kita saat itu…?. Lhaaaa..., kan berbohong dan ngelindur seperti burung BEO lagi kita saat itu namanya. Ya nggak, ya nggak…?. Makanya Allah menegor perilaku kita itu dalam ayat berikut:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah… (Al Baqarah 165)
Selanjutnya, saat kita menghantarkan do’a: “Rabbana laKAl hamdu…, Wahai Tuhanku…, milik-MU mu segala pujaan ini…”. Dan do’a-do’a: “Rabbigfirli, warhamni, wajburni, warfa’ni, wardzuqni, wahdini, wa’afini, wa’fuanni…, serta do’a-do’a yang lainnya, kita arahkan dan sampaikan kemana MUATAN do’a itu selama ini…?. Kita sampaikan nggak do’a itu kepada yang kita anggap MU itu. Dan MU itu membalasnya nggak muatan do’a kita itu dengan muatan yang lebih dahsyat.
Misalnya, saat kita menyerahkan segala pujaan kepada “MU” itu, maka setelah itu PLONG nggak dada kita ini dari rasa sesak akibat pengaruh rasa sombong untuk ingin dipuja dan puji orang lain. Lalu adakah pula muncul rasa diampuni, rasa dikasihi, rasa ditutupi ke’aiban, rasa rasa diangkat kedudukan, rasa dilimpahi ide-ide untuk mengais rizki, rasa dilimpahi informasi atau pentunjuk, rasa disehatkan, rasa dimaafkan oleh Allah setelah kita mengaturkan do’a kepada “MU” itu…?. Kalau “MU” ini belum pas, maka muatan balasan dari “MU” itu juga nggak akan ada. Kita bertepuk sebelah tangan lagi jadinya.
Yang paling dahsyat adalah saat kita harus mengungkapkan kesaksian kita atas Allah dan Muhammad SAW. "Asyhadualla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Kan seharusnya kita benar-benar menyaksikan Allah dulu baru kita ungkapkan kesaksian kita itu. Begitu juga saat kita harus bersaksi terhadap Rasulullah, bersaksi macam apa yang harus kita lakukan...?. Apakah kita harus membayangkan wajah Rasulullah, penderitaan Rasulullah, atau bagaimana…?. Salah-salah kita bisa sama saja dengan orang yang memuja wajah “XYZ” dalam beribadahnya.
Kalau di sebuah sidang pengadilan, yang namanya bersaksi itu, ya kita haruslah mengetahui persis tentang apa-apa yang akan kita ungkapkan dalam persaksian itu. Lha…, dalam bersyahadah itu, yang seharusnya saat kita bersyahadat itu kesadaran kita langsung tertuju kepada Allah: Ya Allah benar ya Allah hanya Engkau alamat saya menyembah, dan benar ya Allah… Muhammmad SAW adalah Rasulmu, karena apa-apa yang Beliau sampaikan saya buktikan kebenarannya…!, eeee... kesadaran kita yang muncul saat kita bersyahadat itu malah pikiran liar kesana kemari. Bohong dan ngelindur lagi kita dalam bersyahadat itu...!
Dalam mengucapkan salam pun begitu. "Assalamu alaikum, warahmatullahi wabarakatuh...!", itu artinya kan adalah bahwa saat salam itu kita ungkapkan, seharusnya kita menebarkan kepada orang-orang di sekeliling kita tentang keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah yang telah kita dapatkan saat kita shalat itu. Lha apanya yang akan ditebarkan wong salam kita itu kebanyakan juga KOSONG SAJA, nggak ada MUATANNYA.
Kan salam itu seharusnya begini: "nih pak, nih dik, nih nak, nih sahabatku ada keselamatan nih, ada rahmat nih, ada barakah nih dari Allah buat mu ('alaikum, 'alaikum, alaikum, buat semua). Ada muatannya gitu lho...!. Kalau nggak ya kita berbohong dan ngelindur lagi itu namanya saat kita mengucapkan salam itu.
Bayangkan…, untuk sebuah perbuatan SHALAT yang kita lakukan dari hari ke hari, waktu ke waktu, isinya nyaris bohong dan ngelindur melulu. Dari sikap ke sikap, bacaan ke bacaan kita nggak ubahnya dengan seekor burung BEO. Lha…, gimana kita bisa menjadi baik saat kita menjalani hidup ini....?.
Jangankan suasana yang susah dalam shalat seperti diatas, untuk hal yang sederhana saja kita belum tentu lebih baik dari seekor burung BEO. Untuk membuktikannya gampang saja kok. Cobalah bandingkan bagaimana suasana yang melanda dada dan kulit kita saat kita menyebut kata-kata berikut ini. Membacanya boleh saja ditempat yang sepi dan sendirian, atau dimanapun yang kita sukai:
“Piring, gelas, piring, gelas, sendok…!”.
Kemudian sebut pulalah:
“Allah…, Allah…, Allah…!.
Kalau tidak ada bedanya sedikitpun suasana DADA dan KULIT kita saat membaca kata-kata diatas, maka bolehlah kita mulai meratapi diri. Karena boleh jadi saat kita membaca itu mungkin nggak ada bedanya dengan membacanya seekor burung BEO.
Lalu kemudian sebut pulalah:
“Jin, iblis, syetan, gendoruwo, roh gentayangan”
Dan makhluk-makhluk sejenis lainnya….
Kalau saat menyebut nama-nama makhluk jin yang digambarkan (dipersepsikan) orang dengan sangat menakutkan itu, dada kita lalu gemetar, kulit kita lalu merinding, ada rasa takut yan menegakkan bulu roma kita…, bahkan ada pula yang sampai keter-keter dan meracau nggak beraturan (yang katanya tengah kesurupan), dan lain-lain sebagainya, maka berarti saat itu bolehlah kita meratapi diri pula. Karena berarti nama jin, syetan dan sebagainya itu lebih menimbulkan kesan mendalam di dada dan di kulit kita dari pada kita nama Allah…!. Astagfirullah hal adhiem…!. Pantas saja kita ini lebih cenderung untuk berbuat berbohong dari pada berbuat jujur. Karena memang kita lebih terkesan dan terpesona dengan jin, syetan dan iblis yang memang dari sononya sukanya berbohong melulu.
Akibatnya pada diri kita…???. Sungguh sangat menakjubkan…!. BOHONG BERBUAH BOHONG.
Buah Itu
Begitu terbiasanya kita berbohong dihadapan Allah saat kita shalat, maka kebiasaan itupun, tanpa kita sadari, lalu terbawa-bawa pula kedalam kehidupan sehari-hari kita. Cobalah kita amati diri kita dan sekeliling kita agak selirik dua lirik. Nggak usah jauh-jauhlah, ditempat bekerja kita misalnya. Betapa sering dan bersemangatnya kita selama ini membuat rencana-rencana yang konon kabarnya adalah untuk kemajuan perusahaan tempat kita bekerja, dan tentu saja untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama pula. Akan tetapi sayangnya lebih banyak pula rencana-rencana itu adalah rencana bohong-bohongan belaka.
Mari kita lihat bagaimana proses kita merencana itu selama ini melalui rapat-rapat yang intensitasnya cukup tinggi:
* Sebelum menghadiri rapat, kita sudah mulai memuat pulau-pulau mulai dari yang kecil sampai ke yang besar kedalam fikiran kita masing-masing. “Itu kan kerjaan si anu…. Itu kan bukan tanggungjawab saya…. Yang ini barulah bagian saya. Orang lain nggak boleh mengutak-utik bagian saya ini. Yang lain boleh jelek asal yang bagian saya bisa baik”.
* Giliran untuk melaksanakannya barulah kelihatan lagi ngelesnya: “kita terlebih dulu harus membuat detail rencana ini dengan sangat terperinci dengan melibatkan berbagai pihak lain yang berkompeten, dan berbagai alasan lainnya”.
* Akhirnya karena otak kita masing-masing masih berpulau-pulau seperti diatas, ditambah lagi saking rinci dan hebatnya detail rencana yang kita buat, malah jadinya rencana itu nggak bisa dilaksanakan sama sekali. Para pimpinan…, otaknya dibatasi oleh pulau-pulau yang berada diotaknya masing-masing. Dikiranya kotak atau posisinya sebagai pimpinan itu adalah miliknya sendiri. Begitu pula para pasukan dibawah pun lebih banyak berada pada pulau-pulau pikirannya sendiri dalam pekerjaannya sehari-hari. Padahal Indonesia ini walau dikatakan sebagai sebuah negara dengan seribu pulau, namun pulau-pulau itu tetap masih bisa disatukan dengan sebuah nama, INDONESIA.
* Padahal kalau kita berfikir secara sederhana, tidak ada yang tidak bisa dilaksanakan. Karena masalah-masalah kita ini hanyalah masalah yang berulang dari dulu-dulu walau dengan kualitas yang berbeda. Syaratnya hanyalah satu, yaitu temukanlah “sesuatu” yang bisa menyatukan pulau-pulau yang ada disetiap fikiran kita. Dan sesuatu itulah yang kita binding, kita anchoring, kita sandari saat kita menjalankan fungsi kita masing-masing.
Begitu juga di tingkat kota, propinsi, dan bahkan negara, nyaris saja rencana-rencana yang kita buat adalah rencana-rencanaan, rencana bohongan, rapat bohongan, pemeriksaan bohongan, tindakan bohongan, pelaksanaan bohongan.
Subhanallah…, ternyata bohongnya kita dihadapan Allah tadi, ee... ndak tahunya Allah malah benar-benar balik mendorong kita untuk berbuat bohong-bohong berikutnya. Ya seperti kita sekarang inilah. Bangsa kita ini saat ini nampaknya memang tengah dilanda oleh gelombang kebohongan massal.
Masih Ada Harapan…!
Untuk keluar dari lingkaran kebohongan demi kebohongan diatas, masih adakah jalan yang terbentang dihadapan kita…?. Jawabannya…, ADA…!. Dan caranya itupun adalah dengan cara yang sangat sederhana, yaitu jangan BOHONG dihadapan ALLAH. Artinya:
* Janganlah mengaku bahwa Allah Maha Besar (Allahu Akbar), kalau kita belum menyaksikan kemahabesaran Allah.
* Janganlah menyatakan IyyaKA, kalau kita belum sadar penuh kepada MU yang kita tuju.
* Janganlah memuji bahwa Allah Maha Suci (subhanallah), kalau belum menyaksikan kemahasucian Allah.
* Janganlah kita bersyahadat akan Allah, kalau kita belum bersaksi akan ketunggalan Allah, keesaan Allah, dan yang selain Allah adalah fana, tiada. Dan janganlah kita bersyahadat akan kerasulan Muhammad, kalau kita belum menikmati kebenaran ajaran-ajaran Beliau.
* Janganlah kita mengucapkan salam kepada orang lain, kalau muatan salam, kebahagian, kesejahteraan itu belum ada pada diri kita.
Nah…, harapan untuk menjadi TIDAK BOHONG lagi itu sangat terbuka lebar ketika kita bisa menjadi PENYAKSI (SYAHID) akan: kemahabesaran Allah, kemahasucian Allah, kemahaesaan Allah, dan kita menyaksikan pula respon Allah atas apa-apa yang kita keluhkan kepada-Nya. Inikan IHSAN saja sebenarnya.
Karena nggak mungkinlah orang yang IHSAN, yang menyaksikan dan yang sadar akan ALLAH mau untuk berbohong, berbohong, dan berbohong lagi …!.
Nah temukanlah posisi IHSAN tersebut…!.
0 comments:
Posting Komentar