Sabtu, 24 Juli 2010

WARISAN NABI YANG TERLUPAKAN

Anda pernah sakit gigi? Kemana Anda pergi berobat? tentunya dokter gigi bukan? Kenapa Anda tidak pergi ke montir mobil atau tukang cukur tatkala Anda sakit gigi? … Ya’, tepat sekali, karena dokter gigilah yang mengetahui masalah Anda, bukan yang lainnya. Itulah pentingnya ilmu, dan ilmu itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.

Ilmu Yang diturunkan Allah Subhanahu wata’ala

Di antara nama-nama Allah Subhanahu wata’ala yang husna (baik, bagus) adalah al ‘Aliim, yang artinya Maha Mengetahui. Allah Subhanahu wata’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui, baik perkara-perkara yang lahir maupun yang batin, baik yang kecil, ataupun yang besar. Dan sifat ilmu Allah Subhanahu wata’ala merupakan ilmu yang sempurna, tidak didahului oleh sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat lupa. Sebagaimana firman-Nya,

“Pengetahuan (ilmu) tentang hal itu, ada pada Tuhanku, di dalam sebuah kitab Tuhanku yang tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (Thooha: 52) (Al Qowaa’idul Mutslaa, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin)

Allah Subhanahu wata’ala Ta’ala menurunkan dua macam ilmu kepada manusia. Yaitu, ilmu duniawi dan ilmu syar’i. Adapun ilmu duniawi, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah, yakni jika sudah ada orang yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban orang yang lainnya. Dan ilmu duniawi ini bisa sebagai sarana untuk tujuan kebaikan atau untuk kejahatan, sehingga hukumnya pun sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya.

Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu syar’i adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada Rosululloh Muhammad shollalahu aihi wa sallam yang berupa keterangan-keterangan dan petunjuk yang terkait dengan keselamatan dan kebaikan seorang hamba, yang mana pemilik ilmu inilah yang mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu wata’ala. (Kitabul ‘Ilmi, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Sebagaimana sabda Rosululloh shollAllah Subhanahu wata’alau’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dirinya dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka akan Allah Subhanahu wata’ala pahamkan dia tentang ilmu agama.” HR. Al Bukhori).

Firman Allah Subhanahu wata’ala, “…Allah Subhanahu wata’ala akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…”(Al Mujaadilah: 11).

Hukum mempelajarinya adalah wajib bagi setiap muslim, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Menuntut ilmu (syar’i) adalah kewajiban bagi setiap muslim (baik laki-laki ataupun wanita).” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Ath Thobroni).

Ilmu syar’i Warisan para Nabi

Dan ilmu syar’i inilah yang menjadi warisan para Nabi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham (harta benda), akan tetapi hanyalah mereka mewariskan ilmu syar’i, maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia mengambil bagian (warisan) yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Ilmu ini merupakan ilmu yang terlupakan dari perhatian kaum muslimin. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akherat adalah lalai.”(Ar Ruum: 7).

yakni kebanyakan manusia tidaklah mempunyai ilmu kecuali tentang ilmu dunia, dan yang terkait dengannya. Mereka sangat pandai dengan hal tersebut, namun lalai dalam masalah-masalah agama mereka dan apa yang bisa memberikan manfaat bagi akherat mereka (Tafsirul Quranil Azhim, Al Imam Ibnu Katsir).

Perlu diketahui, bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala membenci setiap orang yang pandai dalam masalah-masalah dunia namun bodoh tentang perkara akherat, Rosululloh bersabda,

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala membenci setiap orang yang ‘alim (pandai) dalam perkara duniawi, namun jahil terhadap perkara akherat.” (Shahihul Jami’: 1875).

Menuntut Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) = Jihad

Tatkala disebut kata jihad, yang tergambar dalam pikiran adalah perang dengan berbagai kesulitannya. Perlu diketahui, bahwa syariat jihad bertujuan agar agama Islam ini tegak di muka bumi. Dan Islam tidaklah tegak tanpa adanya jihad. Namun, perlu digaris bawahi, bahwasanya jihad ada dua bentuk, yang pertama adalah jihad dengan ilmu dan burhan (keterangan), dan yang kedua adalah jihad dengan perang dan pedang. Jihad yang pertama lebih didahulukan dibandingkan yang kedua, sebagaimana Rosululloh tidak akan memerangi suatu kaum sebelum dakwah sampai kepada mereka (Kitabul ‘Ilmi, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin).

Abu Darda, salah seorang sahabat Rosululloh, berkata, “Tidaklah seseorang pergi siang hari ke Masjid untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, melainkan akan ditulis untuknya pahala sebagaimana pahala mujahid. Ia tidak pulang melainkan dalam keadaan mendapatkan rampasan perang.”

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu (agama), ia berada di jalan Allah Subhanahu wata’ala hingga ia pulang” (HR. At Tirmidzi dan At Thobroni).

Begitu pula Muadz bin Jabal, sahabat Rosululloh, berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu (agama), karena mempelajarinya dengan ikhlash membuat orang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, mengkajinya adalah ibadah, dan mendiskusikannya adalah tasbih, dan pergi mencarinya adalah jihad” (Al ‘Ilmu, Al Imam Ibnul Qoyyim)

Ilmu Dulu, Baru Amal

Allah Subhanahu wata’ala Ta’ala berfirman, “…barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110).

Yakni siapa saja yang mengharap pahala dan balasan yang baik dari-Nya, hendaknya ia mengerjakan amal yang sholeh, yakni amal yang sesuai dengan tuntunan Rosululloh, dan tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah, yakni hanya mengharap pahala dan wajah Allah Subhanahu wata’ala semata dari amal ibadahnya. Di dalam ayat ini, terdapat dua rukun amal sebagai syarat diterimanya amal tersebut oleh Allah Subhanahu wata’ala, amal tersebut haruslah: (1) ikhlash ditujukan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan (2) sesuai dengan tuntunan dari Rosululloh (Tafsirul Quranil ‘Azhim, Al Imam Ibnu Katsir).

Maka dari itu, seseorang yang hendak mengerjakan amal ibadah, selain berusaha mengikhlashkan amal ibadahnya hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala, juga harus mengetahui (mengilmui) apakah amal ibadahnya tersebut diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala atau dituntunkan oleh Rosululloh. Karena tidaklah setiap amal perbuatan yang dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala mesti diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari ajaran kami, maka amal tersebut tertolak”(HR. Muslim).

Dengan begitu, ilmu lebih didahulukan daripada amal perbuatan.

Begitu pula dengan firman Allah Subhanahu wata’ala, “Ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wata’ala, dan mohonlah ampunan atas dosamu…” (Muhammad: 19).

Al Imam Al Bukhori menggunakan ayat ini sebagai dalil mengenai kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berbicara dan beramal. Ini merupakan dalil dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia mengetahui terlebih dahulu, kemudian baru beramal. Sebab suatu ucapan maupun amalan tidak bisa diterima kecuali bila dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah, padahal tidak mungkin seseorang mengetahui bahwa amalnya sesuai dengan ketentuan syariah kecuali dengan ilmu (Syaroh Tsalaatsatul Ushul, Al Imam Ibnu ‘Utsaimin)

Bersikaplah Adil wahai Sahabat ……!!!

Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa setelah meninggal, manusia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatannya sewaktu hidup di dunia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

“Allah Subhanahu wata’ala tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang akan ditanya…” (Al Anbiya’: 21).

Kemudian manusia akan menempati tempatnya di akherat. Jika tempatnya di surga, di surgalah dia. Namun jika tempatnya di neraka, di nerakalah dia. Dan perlu diingat, bahwasanya kehidupan akherat itu kekal.

Firman Allah Subhanahu wata’ala,

“Dan kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.”(Al A’laa: 17).

Sebagaimana manusia tidak suka jika ada orang yang tidak adil kepadanya, maka hendaknya dia pun berbuat adil kepada Allah Subhanahu wata’ala. Jadi, seseorang tidaklah boleh hanya mementingkan kehidupan dunia tanpa memikirkan kehidupan akherat. Sehingga, kalau dia mampu meluangkan kesempatan belajar ilmu duniawi, tentunya dia pun harus bisa meluangkan kesempatan belajar ilmu syar’i.

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…”(Al Maidah: 8)

Bagaimana mungkin kita lebih sibuk mengurusi perkara dunia yang sementara sampai-sampai kita lalai terhadap akhirat yang itu kekal selama-lamanya. Bahkan dengan ilmu syar’i itulah seorang hamba bisa mencapai kebahagiaan dunia dan akhiratnya, dengan ilmu syar’ilah dia bisa mengetahui apakah suatu amalan diajarkan atau tidak oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rosul-Nya. Bukankah Nabi telah bersabda,

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari ajaran kami, maka amal tersebut tertolak.”(HR. Muslim).

0 comments:

Posting Komentar