Senin, 27 September 2010

Memanusiakan Iblis

Jenis maksiat yang pertama kali diperkenalkan ke peradaban alam adalah penyakit takabur. Masih ingat dalam ingatan kita, ketika Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam. Beliau menolak dengan alasan, karena iblis diciptakan dari Api dan Adam dari tanah. Setidaknya Iblis mempunyai beberapa tahap kesalahan: pertama, ia salah berfikir karena mengunggulkan api daripada tanah. Padahal api mempunyai kelebihan dan keunggulannya sendiri yang tidak dipunyai tanah, dan tanah juga mempunyai kelebihan yang unik, tak mungkin dimiliki api. Tanah dan api diberikan kelebihan masing-masing oleh Allah. Bahkan keduanya saling melengkapi. Tanah bisa dibikin menjadi celengan, genteng, bata, juga karena atas bantuan api.

Kedua, iblis dianggap sebagai senior dari para malaikat. Beberapa keterangan menunjukkan bahwa Iblis diklaim sebagai hamba yang paling lama bersujud kepada Allah. Bisa dikatakan juga bahwa iblis “berjenis kelamin” malaikat. Argumentasi pendapat ini bersandar pada ayat yang memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam. Dalam ayat tersebut tidak ada kata perintah yang ditujukan kepada Iblis, tetapi perintah sujud hanya untuk malaikat-malaikat, maka bisa dikatakan bahwa Iblis itu sebangsa malaikat, tetapi karena hilang karakter malaikatnya yang tidak membangkang terhadap segala perintah, dan mengerjakan segala perintah dari Tuhannya, maka bisa dikatakan bahwa iblis jenis malaikat yang lain, bisa juga dijuluki sebagai malaikat iblis. Untuk memudahkan penyebutan, dan supaya tidak tercampur logika ketundukan malaikat dengan pembangkangan iblis, maka makhluk lain lebih enjoy untuk memakai nick name Iblis.

Ibarat manusia yang kehilangan rasa malu, dan telanjang sambil berteriak lari-lari di tengah jalan akan dijuluki wong edan, dia sudah ketambahan laqob edan, gendeng, kentir, miring, stess, dll. karena sifat dasar manusianya sudah hilang, yakni: rasa malu. Ibarat kambing yang berkokok, ayam yang mengembik, maka kambing bisa dikatakan “kambing ayam” atau “ayam kambing”. Demikian juga dengan malaikat pembangkang, sudah seharusnya ketambahan julukan Iblis, Idajil, Yajuj wa Ma’juj.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Iblis merupakan makhluk penyeimbang, karena tanpa aktor iblis, tak mungkin diciptakan sorga dan neraka, karenalah pula manusia bisa menikmati sorga. Alasannya karena manusia bisa bertahan menjadi mukhlasin, sehingga ia tak tersentuh oleh iblis, dan para mukhlasin mendapat kemewahan fasilitas sorga.

Dalam pemahaman saya yang dangkal, mungkin seandainya ia makhluk, maka ia termasuk makhluk yang dijadikan aktor paling sengsara dalam scenario semua penciptaan alam. Beliau sepanjang sejarah yang saya tahu hanya melakukan satu pelanggaran, menolak untuk bersujud kepada Adam, tapi tiada maaf baginya sampai hari pembalasan. Ia juga oleh manusia sering dikambinghitamkan, perbuatan mungkar dan keji yang dilakukan bani Adam sering dituduhkan karena disebabkan atas bujuk rayu makhluk misterius ini.

Bisa dibandingkan dengan kemudahan manusia, yang diberikan sangat luas dispensasi taubat oleh Allah SWT. Sehingga manusia dengan enteng mengulang-ulang kesalahannya, karena keamanan hati mengingat masih ada kesempatan untuk kembali bertobat. Iblis tak diberikan kesempatan untuk tobat, setidaknya itu yang saya ketahui.

Mungkin scenario awal drama penciptaan semua makhluk berawal dari sedikitnya dispensasi taubat. Adam melakukan satu pelanggaran, langsung saja beliau dipersilahkan untuk keluar dari surga untuk mendiami bumi bersama istrinya Hawa. Sebagaimana iblis yang melakukan pelanggaran langsung di blacklist sebagai makhluk pembangkang yang kelak menjadi penduduk neraka.

Selain Iblis mengalami kesesatan berfikir yang menganggap api lebih unggul dibanding tanah. Penolakannya terhadap perintah sujud jelas menunjukkan sifat sombong, karena alasannya menggunggulkan dirinya dan merendahkan Adam.

Walaupun ada beberapa orang yang menganggap bahwa Iblis adalah makhluk yang paling tauhid (tauhid sejati), karena dalam dialog tersirat Tuhan dengan Iblis, Iblis mengatakan: “aku menolak untuk bersujud kepada Adam, karena Adam tidak pantas untuk disujudi, satu-satunya Tuhan yang pantas disujudi hanya engkau ya…Tuhanku.”

Kalau pembelaan itu memang benar, maka bisa dikatakan bahwa, ketakaburan Iblis itulah yang melanggar Ketauhidannya kepada Allah. Karena dia telah memakai pakaian Allah. Takabur itu pakaian Allah dan satu-satunya yang seharusnya memakai adalah Allah, makhluknya tidak pantas untuk memakai pakaian takabur itu. Maka tak heran apabila hadis Nabi mengatakan bahwa “tidak akan masuk sorga orang yang dihatinya masih bersemayam satu biji ketakaburan,” dalam kata lain: percuma kita syahadat, shalat, puasa, kalau dihati kita, di perilaku kita, diucapan kita masih berlumuran kesombongan-kesombongan.

Maka tak heran juga ketika suatu waktu Rasulullah menyuruh perempuan Arab untuk menyudahi puasa karena ia telah melanggar muatan moral puasa. Pada bulan puasa, perempuan itu menghardik budaknya. Ia menganggap dirinya besar dibandingkan dengan budaknya yang jelata, sehingga dalam hatinya memantaskan diri kalau dia menghardik budaknya yang sejatinya bukan miliknya.

Dalam Itikhaf Sadatil Muttaqin dijelaskan bahwa orang sombong (mutakabir) adalah orang yang memandang segala sesuatu dengan pandangan merendahkan. Hanya dirinyalah yang dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, yang agung. Ada dua sifat berlawanan yang dilakukan mutakabir, yakni mengagungkan sekaligus merendahkan. Iblis mengganggap besar dirinya dengan alasan karena bahan bakunya memakai api, sedangkan Adam memakai tanah. Iblis mengganggap tinggi api dan merendahkan tanah. Padahal tanah sebagai lambang tawadlu, sedangkan api lambang dari kemarahan (ghodzob). Siapa yang menggunggulkan kemarahan dan meninggalkan tawadlu maka bisa merusak iman. Dan marah termasuk pangkal dari kejelekan-kejelekan. Dalam salah satu ayat al-Qur’an juga diterangkan bahwa perilaku mukmin sejati itu diantaranya meerka yang bisa Manahan marah, dan yang gemar memaafkan kepada sesama.

Ada sesuatu yang dibanggakan dan dihargai yang menjadi penyebab sifat sombong. Kalau masyarakat menghargai harta, maka orang kaya akan dianggap mempunyai strata lebih tinggi dibandingkan dengan orang miskin. Itu kesepakatan masyarakat yang tak tertulis, tetapi berlaku. Maka tak heran kalau seringkali dalam musyawarah desa, orang miskin sering mengeluh bahwa pendapatnya dalam rembug desa tak pernah dipakai, walaupun didengarkan, alasannya karena nanti yang akan membiayai pembangunan hasil musyawarah rembug desa adalah orang-orang kaya. Jadi mereka yang miskin, hanya menjadi pelengkap dan penggembira musyawarah.

Melihat hal semacam itu, bisa dikatakan bahwa strata yang terbentuk dalam masyarakat berdasarkan kekayaan materi bisa menghasilkan kekerasan psikologis. Yakni, menganggap tiada orang-orang yang hadir di sekitar kita, tidak menganggap kehadiran orang-orang miskin (ora ngewongke), karena pendapat, pikirannya selalu dijadikan pendapat pelengkap, atau second opinion.

Kalau ilmu yang menjadi kebanggaan dan sesuatu yang berharga dalam masyarakat, maka orang berilmu juga berpotensi untuk sombong. Ia bisa berbangga hati atas kemahirannya, dan tak jarang sombong dengan ilmunya itu. Karena masyarakat menganggap orang pinter lebih unggul disbanding orang bodoh.

Pertemuan Nabi Musa dengan Khidilir juga diawali rasa ‘sombong’ Musa atas ilmu-ilmu yang dikuasainya. Ia mengaku paling pintar di antara hamba Allah, ketika salah seorang muridnya mengajukan pertanyaan “siapa hamba Allah yang paling luas ilmunya di dunia ini?” Maka Allah menegurnya, bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang yang berilmu masih ada orang yang lebih berilmu lagi. Allah menyuruh Musa untuk mencari hamba yang katanya lebih berilmu dibanding Musa. Musa bersama muridnya mencari hamba shaleh itu sampai ketemu di pertemuan dua lautan (majma’al bahrain).

Maka bisa dikatakan bahwa segala potensi kelebihan manusia dapat dibanggakan dan disombongkan. Maka sebenarnya, walaupun Iblis itu sebagai soko guru takabur, tetapi dia tidak berpengalaman untuk takabur. Ia hanya mengalami satu peristiwa menyombongkan diri, tetapi dia tidak berpengalaman berkali-kali, dan seandainya beliau sombong berkali-kali rasanya tak mungkin.

Manusia mempunyai banyak potensi, kelebihan untuk disombongkan, karena memang manusia pemburu harta, ilmu, jabatan, wanita, kenikmatan, dan segala keunggulan. Sedangkan iblis kan tak mempunyai harta, jabatan, kedudukan, status, kegantengan, bahkan beliau tak pernah memburunya. Jadi apa yang akan disombongkan iblis, setelah pengalaman sombongnya yang pertama. Iblis hanya mempunyai peluang untuk sombong sekali karena bahan baku penciptaannya dari api, setelah itu apa yang akan disombongkan iblis. Harta dia gak pernah cari, bagaimana mungkin mempunyai; wanita juga tak menggiurkan, karena dia tak berjenis kelamin, gak nafsu kali yee…jabatan apalagi, tak membuat ia ngiler, apalagi status, mungkin tak ada dalam kamus iblis.

Maka tak pantas apabila Iblis menggoda manusia untuk melakukan karupsi demi mengejar jabatan, karena iblis tak mempunyai pengetahuan tentang korupsi, dan tak mempunyai pengalaman tentang lezatnya jabatan. Yang pantas itu, manusia menggoda iblis, bukan iblis menggoda manusia, karena potensi, pengetahuan, pengalaman, untuk sombong manusia lebih complicated, lebih lengkap.

Seharusnya manusia yang mengiming-iming empuknya jabatan, lezatnya makanan, dan aduhainya sintal body wanita kepada iblis yang lugu terhadap itu semua. Karena tak pernah aku mendengar iblis nafsu makan (kemaruk); iblis ngesex dengan berbagai gaya di hotel; tak pernah terdengar tuh…., bahkan diinternet yang katanya gudangnya pornografi, tak search gak pernah ketemu iblis yang lagi uhuk; aku juga tak pernah sekedar mendengar iblis bersolek di salon untuk menggunggulkan ketampanan atau kecantikannya.

Iblis itu makhluk lugu, jadi tak mungkin ia menjadi penggoda manusia, lebih pantas kalau manusia menggoda iblis, karena dia lebih pintar, lebih pengalaman, dan lebih menyukai pertumpahan darah dan kehancuran dunia.

Wallahu Alaam

0 comments:

Posting Komentar